Tuesday 12 February 2008

Fantasi Investasi di Indonesia

Sampai awal 2008 ini ada dua masalah yang masih mengepung kondisi perekonomian Indonesia, yakni tingginya kemiskinan dan merosotnya investasi. Hal ini berhubungan dengan penyakit kronis lain, yakni pengangguran.

Hal itu tentu menarik untuk dicermati ketika berbagai upaya pemerintah memberi bantalan empuk bagi investasi ternyata belum berarti banyak. Ini terutama lewat beberapa peraturan pemerintah seperti PP No 76/2007 dan PP No 77/2007, yang diharapkan menjadi magnet bagi para investor sebagai sebuah kepastian hukum terhadap penanaman modal di Indonesia.


Sampai akhir 2007 penanaman modal asing (PMA) hanya sekitar USD 8,9 miliar, sedangkan penanaman modal dalam negeri Rp 44,6 triliun. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, sudah sedemikian tidak menarikkah Indonesia di mata para investor?

Riwayat Investasi

Ketika hampir dua dasawarsa setelah Indonesia merdeka, pada 1957 dan 1959 terjadi proses nasionalisasi dari perusahaan Belanda dan perusahaan Inggris. Sebuah proses yang tidak saja menggeser kepemilikan, tetapi juga mengubah manajemen secara keseluruhan. Hal itu menyebabkan hengkangnya para eksekutif dan karyawan dari luar negeri.

Akibatnya, kita menghadapi kendala keterbatasan SDM hampir di semua lini manajemen dan tenaga terampil. Bukan hanya stagnasi yang terjadi, tapi juga kerusakan dan pembusukan perusahaan.

Tentu saja kebijakan yang diambil ini ikut andil menyeret kondisi ekonomi Indonesia memasuki masa buram, tingginya inflasi, dan rendahnya pertumbuhan ekonomi.

Pada 1966 terjadi pergantian pemimpin bangsa. Kondisi krisis yang semakin mendera rakyat disikapi pemerintah dengan mengeluarkan "kebijakan rehabilitasi dan penyelamatan," dan sekaligus mengubah cara pandang terhadap penanam modal asing (PMA). Demikian juga pandangan terhadap institusi keuangan multilateral seperti bank dunia.

Kebijakan ini berlangsung dari 1966 sampai 1970. UU Penanaman Modal diberlakukan pada 1967. Pada saat yang sama aset perusahaan swasta asing yang dinasionalisasi dikembalikan. Mulai saat itu investasi asing mengalir ke Indonesia, khususnya di sektor barang konsumsi.

Kemudian 1970-1997 perekonomian Indonesia dikaruniai laju pertumbuhan yang relatif tinggi cepat. Kebutuhan akan investasi asing semakin dirasakan di tengah keterbatasan peran negara dalam pembangunan.

Sampai dengan 1997 daya tarik investasi di Indonesia masih memikat. Terbukti pada tahun itu Indonesia menduduki urutan ketiga di bawah China dan AS sebagai negara tujuan investasi.

Sedangkan pada 2000, 2001, dan 2002, investasi mengalami penurunan, sehingga kita berada pada urutan keempat.

Kondisi itu terus menurun hingga ke urutan ketujuh, delapan, dan sembilan pada 2004, 2005, dan 2006. Akhirnya posisi kita berada di bawah India, Vietnam, dan Thailand. (Jetro, 2007).

Investasi sendiri dalam menopang perekonomian dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi. Pada 2003 sumbangan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi hanya 0,6 %, lalu meningkat 14,7 persen (2004), pada 2005 menyumbang 10,8 persen, dan pada 2006 turun tajam hanya 2,9 persen (BPS, 2007).

Kalau dilihat dari angka nilai penurunan investasi di Indonesia 2005, nilai investasi asing USD 8.914,6 juta, sedangkan dalam negeri Rp 30.665 miliar. Nilai tersebut turun pada 2006 untuk investasi asing USD 4.699,9 juta dan penanam modal dalam negeri hanya Ro 16.912,3 miliar.

Kebutuhan Investasi

Pada 2007 pemerintah memerlukan investasi Rp 958 triliun. Tapi, hanya Rp 120 triliun yang mampu disediakan pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Melihat kenyataan yang ada, tentu rasa waswas masih menyelimuti kita. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah terasa belum maksimal. Ruang nyaman yang disediakan pemerintah untuk investasi terasa belum banyak diminati para investor. Peraturan yang dibuat sebagai jalan tengah bertemunya antara gairah untuk berinvestasi dari asing maupun dalam negeri dengan hasrat pemerintah terhadap masuknya investasi terasa masih lengang.

Karena itu, untuk segera menciptakan kondisi kondusif bagi investasi, diperlukan langkah seperti mempercepat waktu yang diperlukan untuk mengurus izin.

Seperti diketahui, kita menempati urutan terbawah untuk kategori waktu yang diperlukan mengurus perizinan bagi para calon investor. Sementara negara-negara di ASEAN berusaha memperpendek waktu yang diperlukan untuk keperluan yang sama.

Di sini ternyata komitmen pemerintah untuk memberikan ruang dan suasana lebih nyaman untuk investor belum dibarengi perubahan perilaku para pengambil kebijakan. Karena itu, korupsi, kolusi, nepotisme, tampaknya masih tumbuh subur.

Tidak jarang pungli berbaju peraturan dan restribusi masih dipelihara beberapa pemerintah daerah melalui peraturan daerah (perda). Hal yang disebut terakhir itu tercium oleh pemerintah pusat sehingga ribuan peraturan daerah terpaksa dibatalkan, karena ditengarai penuh aroma untuk mengisap para investor.

Pada investasilah kita berharap pertumbuhan yang dicapai dapat menguapkan patologi pengangguran dan bermuara memangkas kemiskinan. Tanpa investasi pertumbuhan yang berkibar akan tampak bisu terhadap kubangan kemiskinan dan banjir pengangguran.

Sekali lagi, kita berharap agar hal-hal yang dapat mengurangi daya tarik investasi di Indonesia segera diakhiri. Dengan demikian, peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah sebagai payung hukum tidak menjadi sia-sia belaka. Dan, investasi sebagai lokomotif pertumbuhan bukan hanya sebuah fantasi.





My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog

My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor

No comments:

Post a Comment

Pages