Wednesday 6 February 2008

Soeharto Wafat di Mata Pelarian Politik

Soeharto telah pergi selamanya. Saya terima berita itu lewat sms dari kawan yang ada di Indonesia, saat jam Moskow menunjuk angka 09.00 pagi, tepat pada 27 Januari 2008. Sejurus kemudian, sms kembali datang. Kali ini datang dari Malaysia. Isinya kurang lebih sama. Mereka mengabarkan bahwa Soeharto baru saja meninggal.

Tidak ada yang istimewa dari meninggalnya Soeharto, kecuali bahwa dia adalah pribadi yang sarat dengan kontroversi; dicaci sekaligus dipuji, dihujat sekaligus disanjung. Ya, Soeharto adalah pemimpin diktator dengan tangan besi dan strateginya yang mampu berkuasa hingga tiga puluh tahun lebih.

Tetapi, bagi korban ketidakadilan politik Soeharto, kematian sang mantan presiden tetap menyisakan kenelangsaan yang amat dalam. Meski dalam ketegaran dan keniscayaan, kepergian abadi Soeharto menjadi berita muskil yang tetap menarik untuk dituntaskan, terlebih bagi Moskow, kota yang selama ini menjadi pelarian lawan-lawan politik sang diktator.


Soeharto, Moskow, dan Mahasiswa Kepergian Soeharto membuat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Moskow menjadi sibuk menerima karangan bunga belasungkawa dari semua kedutaan asing di Moskow. Ternyata, kepergian sang diktator melahirkan banyak empati dan kesedihan berbagai negara.

Paling tidak jika bunga masih dianggap sebagai simbol penghormatan dan bukan basa-basi politik diplomasi kenegaraan. KBRI melaksanakan salat gaib pada 28 Desember, pukul 13.00 waktu Moskow, untuk mendoakan sang mantan presiden.

Akan tetapi, perasaan mendalam yang dirasakan kedutaan asing di Moskow dan orang-orang KBRI ternyata tidak sepenuhnya dirasakan mahasiswa Indonesia di Rusia. Tidak ada ritual, tidak ada doa, juga tidak ada gempita sebagai tanda duka atau "bahagia" dari mahasiswa atas kepergian sang mantan presiden. Bukan mereka tidak tahu kabar, tetapi memang mereka tidak mau tahu atas matinya sang bapak pembangunan.

"Orang sudah meninggal, ngapain juga dibicarakan," itulah ungkapan singkat yang saya peroleh dari salah seorang kawan mahasiswa yang sedang belajar di Moskow ketika saya menawarkan untuk mengajak diskusi tentang Soeharto.

"Sudahlah kita tidak usah bikin diskusi segala. Kita sekarang lagi musim libur nih. Pingin nyantai lha," ungkap mahasiswa lain.

Tentu itu menarik, mengingat Soeharto dan mahasiswa Indonesia memiliki sejarah politik yang panjang. Soeharto naik singgasana dan berkuasa, salah satunya, karena gerakan mahasiswa angkatan 1966. Soeharto juga jatuh dan tumbang, salah satunya, disebabkan gerakan mahasiswa angkatan 1998.

Apakah apatisme mahasiswa Moskow sebagai bentuk kebencian atas sang mantan presiden? Ataukah ini memang telah menjadi ciri mahasiswa kita sekarang, yang memang tidak mau peduli dengan peristiwa yang terjadi pada negaranya? Bisa jadi keduanya; kebencian sekaligus tak peduli karena letih.

Bagaimanapun, Soeharto menyisakan kebencian bagi mahasiswa Indonesia, khususnya angkatan 1998. Selama berkuasa, Soeharto telah melakukan tindakan represif dan tak jarang menangkap mahasiswa dan memenjarakannya.

Tentu, tindakan sang mantan presiden masih membekas dalam ingatan mahasiswa Indonesia. Dia menjadi dendam politik yang teramat panjang sehingga tidak lagi mampu melahirkan doa atau empati saat Soeharto pergi untuk selamanya.

Sementara itu, proses hukum Soeharto yang sekarang sedang berlangsung tidak lebih dari sekadar isu politik bagi partai politik untuk menghadirkan respek publik menjelang 2009. Dia hanya menjadi sinetron yang bisa dibaca ending ceritanya, tidak menghasilkan akhir bagi keadilan rakyat. Itulah yang membuat mahasiswa tidak lagi peduli (apatis) karena tuntutan yang diajukan atas kasus hukum Soeharto akan selalu patah oleh sirkus politik di Senayan. Mereka telah letih.

Orang-Orang yang Kalah

Kematian Soeharto ternyata juga menjadi dendam lirih tersendiri bagi eks pelarian politik di zamannya. Meninggalnya dia menjadikan kepasrahan yang berharap balas pada sakit hati yang mereka terima. Meski tidak ambisius, orang-orang yang tersingkir secara politik di zaman sang presiden berkuasa berharap keadilan pada kekuatan dari segala kekuatan.

Lihat, SMS yang saya terima dari salah seseorang bapak yang tersingkirkan di zaman Orde Baru yang sekarang tinggal di Moskow, ketika dia bicara tentang kabar meninggalnya Soeharto.

"Komentar apalagi, tak ada yang abadi. Semua akan berubah, baik atau buruk, kalau tidak, kan berada di tempat, sama juga dengan mati. Kalau dia percaya agama biar dia selesaikan dengan Tuhan. Kekuatan pihak mana yang lebih kuat di antara yang masih hidup. Inilah yang menentukan perkembangan selanjutnya."

Begitulah, betapa lirih dan berharap sang bapak terhadap nasibnya yang selama ini "dibunuh" Soeharto. Meski tidak ada kata dendam, sang bapak ingin ada sejarah yang lebih adil atas tindakan-tindakan Soeharto yang selama ini diterimanya. Dia sadar tak berkuasa secara politik untuk melakukan langkah hukum atas perbuatan Soeharto, tetapi dia masih berharap pada rezim sekarang meski ada keraguan dalam dirinya.

Akan tetapi, dalam ragu, sang bapak masih percaya bahwa ada TUHAN yang akan memberikan rasa keadilan. "Kalau dia percaya agama biar dia selesaikan dengan TUHAN," katanya lirih. Jika demikian adanya, sang bapak masih yakin agama mampu menyelesaikan segalanya, termasuk ketidakadilan yang selama ini diterimanya.

Apakah kepasrahan sang bapak terhadap Tuhan adalah bentuk ketawakalan atau hanya perlawanan orang-orang yang kalah, setelah sekian lama dia hidup dalam pengasingan? Bisa jadi, apa yang diungkapkan sang bapak merupakan bentuk kepercayaan dia pada Tuhan yang akan, dan pasti, bisa menyelesaikan semuanya.






My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog

My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor

No comments:

Post a Comment

Pages