Wednesday 6 February 2008

Keragaman Spiritualitas Orang Muda

Apa fenomena keagamaan yang Anda tangkap sehingga melahirkan film seperti Tiga Hari untuk Selamanya yang agak bersentuhan dengan soal agama?
Di film itu terdapat pengalaman keagamaan yang pernah saya alami. Saya dibesarkan di tengah keluarga yang sangat islami dan konservatif dalam mempraktikkan agama.

Saya, misalnya, diwajibkan mengaji sejak SD sampai SMP. Setiap minggu ada guru mengaji yang datang ke rumah untuk mengajari baca dan tulis Arab. Tapi, saya tak bisa menangkap makna dari ayat-ayat penting yang pernah diajarkan. Hanya beberapa ayat penting yang masih saya ingat.


Lalu selanjutnya?
Pada saat yang sama, kita hidup di negeri yang membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan lain. Ketika sekolah, saya bertemu dengan teman muslim yang mengambil kelas agama Kristen supaya nilainya baik. Jadi, menurut saya, negeri ini menggambarkan sebuah pencampuran atau tingkat toleransi untuk saling menerima.

Kadang-kadang lucu, menarik, dan tak jarang penuh kontradiksi. Saya ingin hal seperti itu bisa saya gambarkan dalam film suatu hari nanti dan sebagian sudah saya tampilkan dalam film Tiga Hari untuk Selamanya.

Seperti apa Anda melihat pergulatan anak muda dengan nilai-nilai agama?
Saya kira, pasti sangat beragam. Suatu kali, dalam sebuah bioskop, saya menemui dua anak pesantren daerah Ciganjur yang datang untuk menonton film saya, Tiga Hari untuk Selamanya. Mereka langsung saya temui dan kasih nomor HP. Saya minta mereka berkirim SMS setelah nonton film tersebut. Saya ingin tahu komentarnya karena mereka tumbuh dalam lingkungan yang berbeda dengan saya.

Mengapa anak muda penting dalam film Anda?
Sebab, anak muda di Indonesia ini hidup dalam lingkungan yang penuh paradoks. Kita tidak akan diakui sebagai orang dewasa sampai betul-betul telah menikah. Konteks dewasa itu selalu menikah dan keluar rumah. Padahal, di usia 19-21 tahun, kita sudah banyak menyerap pengalaman dari dunia luar.

Tapi, orang tua biasanya belum bisa memahami itu. Mereka masih sering memaksa anaknya salat, bahkan di usia segitu. Itulah yang juga saya alami.

Menurut saya, anak-anak muda seperti Yusuf dan Ambar (tokoh utama film Tiga Hari untuk Selamanya) ada di sekitar kita. Kadang-kadang -seperti yang saya alami sendiri- agama atau iman tetap bisa menyelamatkan kita. Biar sebandel apa pun, kadang anak-anak muda masih menganggap salat Jumat seminggu sekali tetap penting untuk mengembalikan perasaan keagamaan mereka.

Apakah kesadaran keagamaan tidak justru menghukum tingkah laku mereka?
Mungkin itulah salah satu fungsi agama yang bagi saya menarik. Karena itu, buat saya, agama tetap penting untuk menjaga perasaan kita supaya tetap pada batas tertentu. Kadang lucu juga. Agama kadang mengingatkan kita pada ibu kita. Jadi, menahan sesuatu itu mengingatkan kita akan wajah ibu.

Kadang banyak yang merasa aneh, kenapa orang Islam seperti Ambar kok masuk tempat peziarahan Katolik? Tapi, agama memang seperti itu. Ada saat-saat tertentu tatkala pada kesempatan masuk ke gereja, kita justru dapat merasakan aura spiritualitas.

Aura spiritual tersebut kadang muncul dari sebuah tempat tertentu. Tentu saja itu sangat pribadi. Namun, keluarga saya bisa membawa saya ke arah pemahaman seperti itu.

Anda pernah merasakan pengalaman keagamaan yang konservatif. Adakah momen tertentu yang membuka diri Anda terhadap keragaman agama?
Kerja saya sangat memberikan ruang untuk itu. Membuat film memberikan pengalaman kepada kita untuk masuk ke dalam banyak persoalan. Saya pernah ikut pembuatan film Sepanjang Bulan Ramadan di Indonesia. Di situ kami memfilmkan sekelompok masyarakat di Klaten yang tiap masuk bulan Ramadan membuat perkumpulan yang membawa persembahan untuk dibagi-bagi. Saya pikir, perasaan seperti itu memberi arti penting bagi agama.

Kenapa Anda memberikan ruang?
Sebab, saya kagum pada ruang. Jadi ketika masuk ke ruang tertentu, seperti masjid, perasaan saya tiba-tiba mengatakan ada sesuatu yang bisa lepas. Tapi, sulit mengingat peristiwa khusus kenapa saya merasa agama ini -biar bagaimanapun- tetap bisa menyelamatkan saya.

Pada saat-saat tertentu, misalnya, ketika punya problem berat, saya bisa merasakan sesuatu yang berbeda kalau masuk masjid. Memang masih ada banyak hal yang harus dikoreksi dari sikap keagamaan saya. Namun, menurut saya, fungsi rumah Allah masih bisa saya temukan.

Apa komentar Anda terhadap pandangan keagamaan yang selalu ingin menghukum dan memusuhi nilai-nilai modern?
Saya rasa itu memang sesuatu yang diatur sedemikian rupa agar tetap ada. Jadi, aturan budi baik dibikin untuk mengingatkan manusia agar tidak masuk ke dalam ruang-ruang tertentu.

Kenapa anak muda yang sering jadi target dari doktrin tersebut? Sebab, masa muda adalah masa yang penuh godaan, pertanyaan, penuh keinginan-keinginan. Saya merasa bahwa pada saat-saat tertentu perlu juga kreativitas untuk berhubungan dengan anak muda.

Dalam film terakhir Anda memperlihatkan anak-anak muda akrab dengan narkoba. Apa maksud Anda?
Itu realitas saat ini. Tetapi, bukan berarti saya mengatakan bahwa film saya pronarkoba, walau dalam film terakhir saya narkoba diperlihatkan hampir sebagai makanan sehari-hari dua anak muda yang jadi tokohnya. Saya rasa itu bagian dari realitas kehidupan anak muda.

Pada saat yang sama, kita juga bisa merasakan bahwa kehidupan keluarga, didikan agama yang ada di sekitar mereka, juga menjadi dimensi berpikir mereka. Itu tidak ditampilkan sekadar menunjukkan bahwa mereka takut atau tidak mau taat.

Berarti film-film Anda selalu mengangkat realitas sehari-hari?
Ya. Saya tidak mau membuat film untuk menghindari realitas hanya takut akan mendapatkan begini-begitu.
Ada banyak film yang secara vulgar menunjukkan bahwa jika melakukan ini, kamu akan mendapatkan balasan seperti itu. Film seperti itu seperti sedang bekerja sebagai agen dakwah.

Saya memilih untuk tidak membuat film seperti itu, meski sah-sah saja dilakukan orang. Menurut saya, film sama seperti halnya kesenian lain: bisa dilihat atau diserap manfaatnya dengan cara berbeda, tanpa menggurui.

Contohnya?
Saya berharap momen ketika Ambar (dalam Sehari untuk Selamanya) datang ke tempat peziarahan Sendangsono, tercipta semacam ruang saat kita bisa merasakan hati yang begitu plong. Itu yang mau saya terjemahkan ke layar. Saya tidak ingin, itu hanya mereka yang merasakan, tapi juga penonton.

Mungkin suatu kali orang tidak harus berpikir ke New Zealand untuk mencari tempat yang menarik. Mereka bisa saja melakukan perjalanan dari Jakarta ke Jawa Tengah dan merasakan pengalaman spiritual tertentu atau minimal membiarkan diri bertransformasi ke arah lain.






My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog

My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor

No comments:

Post a Comment

Pages