Karena itu, di Eropa orang-orang lalulalang berjalan kaki tidak ada hubungannya dengan status sosial dan lain-lain. Di Indonesia, ada juga orang tidak merasa turun harga dirinya karena naik sepeda. Contohnya, almarhum Pak Umar Kayam yang pernah menjabat Direktur Jendral Radio Televisi dan Film, setelah kembali mengajar di UGM sering naik sepeda. Oktober lalu, ketika seminar pada Festival Kesenian Yogyakarta, penyair Afrizal Malna mengatakan ingin kembali mengayuh sepeda.
Seandainya pernyataan Afrizal itu diucapkan di Belanda, barangkali tidak menarik. Ketika diucapkan di Indonesia menjadi menarik karena negeri ini sekarang sudah kebanjiran kendaraan bermotor, mulai sepeda motor, sedan, dan lainlain. Akibatnya, kebutuhan akan bahan bakar minyak semakin meningkat, dan udara semakin tercemar oleh asap kendaraan dan otoamtis lingkungan semakin tak ramah. Kota-kota besar pada jam-jam tertentu bisa dipastikan macet, karena jalan-jalan yang tersedia tidak sesuai dengan banyaknya kendaraan yang akan lewat.
Bisa dibayangkan, betapa macet akan menjadi masalah rumit sepuluh atau lima belas tahun ke depan kalau jumlah kendaraan di negeri ini terus bertambah dan terus bertambah. Meskipun didirikan perguruan tinggi "anti macet", kalau budaya "bermotor pribadi" terus berkembang tanpa kendali, maka macet tidak akan bisa dikendalikan oleh siapa pun.
Di Singapura dan Belanda orang-orang sudah merasa puas bepergian dengan kendaraan umum. Tidak punya mobil dan tidak punya kendaraan pribadi, orang tidak merasa malu. Naik mobil pribadi dengan naik kendaraan umum dipandang sama, yang penting sampai tujuan.
Saya tidak tahu, apakah soal macet ini sudah dipikirkan secara serius oleh orang-orang yang berwenang. Maksudnya, bagaimana menangani macet yang sudah terjadi dan bagaimana mengantisipasi macet ke depan. Upaya-upaya preventif model apa yang akan digunakan untuk mencegah dan menangkal macet pada tahun-tahun yang akan datang.
Jika macet ini dibiarkan dan dibiarkan terus tanpa ada upaya ilmiah dan sekaligus upaya konkret untuk mengatasi seluruh macet, jelas itu sikap yang tidak bertanggung jawab. Karena macet itusendiri bukan sekadar kendaraan yang berjubel karena tidak bisa lewat, lebih dari itu ada latar belakang budaya yang mendorong terjadinya macet.
Kebiasaan hidup konsumtif, budaya latah pada kehidupan modern tanpa menangkap esensi modernitas, serta sikap antisosial dan lain-lain, bisa memberi ruang dan peluang bagi macet untuk makin berkuasa. Jika adanya kendaraan bermotor itu sebagai tanda kegagahan dari kehidupan modern, sebenarnya ilmu-ilmu pengetahuan modern juga harus mampu dan gagah mengurus macet dan kemacetan yang sering menghantui dan membekukan jalanan. Modernitas itu sendiri tidak bisa berlepas tangan atas ekses-ekses yang ditimbulkannya.
Banyaknya kendaraan umum yang menjangkau ke belbagai penjuru dengan manajemen dan aturan yang dipatuhi dengan baik, ditunjang kendaraan pribadi yang jumlahnya disesuaikan dengan hasil studi kelayakan, serta akal sehat yang menepis rasa gengsi yang tidak proporsional, dan ditunjang oleh integritas moral seluruh masyarakat, akan membuat macet lambat laun bisa diatasi bersama.
Berbicara tentang gengsi dan macet, saya jadi teringat Dijck van der Mij, seorang Belanda yang telah tinggal di Jakarta. Orang yang bergaji puluhan juta rupiah itu pernah ditanya, kenapa ia tidak membeli mobil, padahal sudah sepantasnya ia punya mobil pribadi.
"Saya lebih praktis naik kendaraan umum. Dengan demikian saya tidak perlu berpikir tentang mobil, tak perlu antre bensin, panggil sopir, dan lain-lain. Saya lebih pas tidak punya mobil," jawabnya.
Andaikan paham seperti itu banyak yang menirunya tanpa sikap latah, tentu macet bisa diusir dari Indonesia, dan nantinya tak perlu dinyatakan menjadi bencana nasional.
My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog
My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor
No comments:
Post a Comment