Sunday 30 December 2007

Resiko Mutiara Memilih Backstreet

"Orang yang dapat menyakiti hati kita, ternyata, bukan hanya orang yang membenci kita. Tetapi, juga orang yang begitu dekat dengan kita. Bahkan, orang yang sangat kita sayangi."

Cinta yang berlebihan ternyata mampu membudakkan pemiliknya. Seperti aku, remaja yang duduk di kelas 2 SMA. Kenalkan, namaku Mutiara. Kehidupanku berubah setelah aku berkenalan dengan ketua Pramuka di sekolahku, Fery. Takdir menyatukan kami, aku terpilih menjadi wakilnya.

Sejak itu, kekompakan pun terus terjalin di antara kami berdua. Tak lama, kami memutuskan untuk berpacaran. Meski berbeda kelas, dia anak IPS dan aku anak IPA, kami mengusahakan agar selalu bertemu. Namun, hanya di ekskul Pramuka kami bisa bersama-sama. Jadi, tak heran kalau aku sangat mengutamakan Fery.

Kedekatan kami akhirnya tercium oleh anggota Pramuka. Saat mereka membuka ponsel Fery, fotoku yang jadi wallpaper. Kontan, gosip pun merebak. Padahal, sahabatku adalah anak rohis yang tahu betul batas pergaulan antara pria dan wanita. Maka, aku tak mau mereka mengetahui hubunganku. Apalagi orang tuaku. Mereka melarang keras tradisi berpacaran.


Selama bersama Fery, aku begitu terpesona dengan sikapnya yang menyayangiku, melindungiku, setia padaku. Bagiku, dia adalah pria yang sempurna. Setiap sore, Fery menelepon ke rumah. Setiap sore itu pula, aku berbohong pada ibuku.

Aku bilang, dia hanya teman. Setiap minggu, Fery pun selalu mengajakku nge-date. Aku bilang pada orang tua, aku cuma berkunjung ke rumah teman wanita. Padahal, kami janjian di belakang gang rumah.

Aku menghemat uang jajan, khusus untuk membelikan kado saat Fery ulang tahun atau setiap momen istimewa kami. Tugas sekolah pun rela tak kukerjakan demi mengisi diary curhat kami berdua sambil berbalas SMS-SMS-nya. Saat orang tua ada kerjaan banyak dan menyuruhku menjaga rumah, aku meminta Fery ke rumahku dan kami pun menghabiskan waktu bercanda di ruang tamu.

Tak ada SMS yang kubalas, selain dari Fery. Seluruh waktuku, tenagaku, dan uangku kuberikan hanya pada Fery. Para sahabat yang melihat perubahan sikapku mencoba mengingatkan. Namun, aku semakin marah dan memusuhi mereka.

Di sisi lain, aku mempunyai sahabat bernama Aini dan Erick, yang kebetulan juga berpacaran. Aini berkata bahwa teman rohisku itu tak pantas dijadikan sahabat. Dia juga bilang bahwa orang tuaku tidak benar karena melarang berhubungan dengan pria yang kucintai. Aku percaya, Aini sahabatku. Aku pun semakin menikmati hubungan backstreet ini.
***
Satu tahun berlalu. Saat Fery kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta, kejenuhan mulai melanda. SMS-ku jarang di balas, meski sudah kukirimi pulsa. Ketika aku sedang punya masalah yang harus diceritakan, dia tak bisa karena sibuk. Ketika libur dan kuajak ke mal, dia bilang lelah.

Setiap malam aku menangis, memikirkan dia. Saat itulah, aku mencoba SMS Erick, pacar Aini. Erick menyarankan agar aku putus dan ikut orang tua. Tapi sungguh, aku tak bisa kehilangan pria belahan hatiku. Tak pernah sedetik pun aku hidup tanpa memikirkannya. Memikirkan semua yang sudah kukorbankan untuknya, termasuk keharmonisan keluarga. Tapi, apa balasannya?

Tahun ini, semua tes kuliah yang kuikuti tak ada yang lolos. Aku semakin stres. Orang tuaku bersikap dingin, sahabat rohis terasa jauh sekali, Aini menuduhku merebut Erick. Sementara Erick? Tetap tak peduli. Sungguh keadaan ini membuatku ingin mati saja.

Namun, di saat sempit seperti ini, aku ingat. Masih ada Tuhan. Aku mengadu pada-Nya, memohon agar diberi petunjuk. Esoknya, teman rohisku SMS. Mereka meminta maaf karena telah berburuk sangka padaku.

Sebenarnya, aku senang mereka kembali. Tapi, tak ayal aku bertanya dalam hati. Mengapa mereka semudah itu meminta maaf? Bukankah dulu aku yang memusuhi mereka?

Ternyata, jawabannya membuatku sangat terkejut. Ada yang melihat Fery memboncengi seorang wanita menuju tempat kuliahnya. Benar-benar bukan jawaban yang kuharapkan. Kepalaku pusing, aku lemas seperti disambar petir. Aku diam sambil mencubit lenganku sendiri. Apakah aku bermimpi?

Aku membawa ponsel dan berlari keluar untuk menanyakan kebenaran tersebut. Sungguh aku bahagia mendengar suaranya, tapi semakin sakit membayangkan dia bersama wanita lain. Saat kali pertama kutanya, dia tak mengaku. Tapi saat kuminta Fery bersumpah, dia juga tak mampu.

Akhirnya, Fery mengakui. Tak terasa, air mataku pun mengalir. Kucoba untuk tegar dengan menanyakan alasannya mengkhianatiku. Fery menjawab, dia lelah harus terus sembunyi dan terus berdusta pada semua orang. Detik itu juga, aku putus. Kuakhiri telepon dengan cepat. Kuhapus air mata yang tak mampu berhenti.

Aku mencoba menenangkan diri dengan pergi ke taman. Aku duduk sendiri, tak percaya dengan apa yang terjadi. Aku pun mulai merenung dan introspeksi diri. Cinta yang selama ini kupuja dan kubanggakan ternyata menghambat masa depanku.

Hatiku hancur berkeping-keping. Sungguh kubenci padanya. Lantas, aku teringat dosaku pada orang tua yang selalu kubentak, kubantah, dan kubohongi. Juga, dosaku pada sahabat-sahabat rohisku. Aku semakin menyesal. Aku semakin terhina. Apa ini teguran Tuhan?

Sejak itu, aku berusaha melupakan Fery. Kuberikan barang-barang pemberiannya semasa pacaran dulu kepada orang lain. Fotonya yang enggan kusimpan kukembalikan lewat pos. Aku ingin bertobat pada Tuhan atas semua dosa-dosaku. Sekarang, aku fokus mengejar kuliah tahun depan.






My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog

My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor

1 comment:

Pages