Sunday, 30 December 2007

Para Korban Tsunami setelah Tiga Tahun Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Menghitung Hari di Barak, Lelah Menunggu Janji
Pada 26 Desember 2007 hari ini, bencana gempa dan tsunami genap berusia tiga tahun. Tragedi memilukan itu merenggut sekitar 200 ribu jiwa penduduk Aceh. Sebagian korban yang selamat kini masih tinggal di barak-barak pengungsian dan belum mendapatkan rumah bantuan. Mari menengok kehidupan mereka.

***

RUANG itu pengap. Tidak ada sekat kamar dan dapur seperti layaknya sebuah rumah. Sebuah lemari tua dan beberapa potong pakaian ditempatkan di sudut ruang. Benda yang agak wah, sebuah televisi dan VCD player, diletakkan dekat sebuah rak berisi peralatan dapur. Semua barang itu berada dalam satu kamar berukuran sekitar 3 x 4 meter.


"Kalau hanya panas begini, itu sudah biasa," kata seorang perumpuan muda saat ditemui koran ini Kamis lalu. Dia tengah menidurkan anaknya di kamar itu. Udara panas yang terasa menyeruap siang itu tidak membuat perempuan bernama Nurhayati tersebut merasa gerah dan risau.

Di rumah shelter yang terletak di kawasan bantaran Krueng Aceh, Nurhayati tinggal bersama suami, ibu, seorang kakak, dan dua keponakan yang kini menjadi yatim piatu. Nurhayati adalah potret kecil nestapa para korban tsunami di Aceh yang hingga kini masih tinggal di pengungsian.

Selain wanita itu, ada puluhan penghuni shelter lain yang juga tinggal di sana. Sebagian besar di antara mereka adalah warga Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala. Shelter-shelter itu dibangun berjejal dan terlihat sudah usang. Mereka, tampaknya, masih harus meretas jalan panjang untuk meraih kembali kehidupan yang normal.

Proyek rekonstruksi BRR Aceh-Nias ternyata belum sepenuhnya dapat memenuhi hak-hak para korban di provinsi berjuluk Serambi Makkah itu. "Sebenarnya, kami sudah lelah menunggu. Sampai kapan harus terus di sini," ujar wanita itu, lirih.

Sebelum menempati rumah shelter di kawasan itu, Nur bersama korban tsunami asal Alue Naga lainnya juga berpindah-pindah mengungsi. Awalnya, mereka mengungsi di kawasan Masjid Ulee Kareng. Beberapa bulan kemudian berpindah ke barak Desa Neuhen, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. "Sebagian besar warga kemudian kembali ke kampung membangun tempat tinggal seadanya. Mereka tidak betah di sana karena sulit mencari kerja," kata Musliadi, 20, kakak kandung Nurhayati.

Musliadi juga tinggal dan tidur di rumah shelter bersama adiknya. Lelaki ini tidak punya pilihan lain setelah rumah mereka di kawasan Dusun Kutaran rata dengan tanah diterjang tsunami. Bahkan, sebagian daratan di kampung itu telah dimakan laut.

Akhir tahun 2007 ini, Musliadi mendapat kabar melegakan. Rumah mereka di Dusun Kutaran sudah hampir siap dibangun. Tapi, kabar gembira itu tak membuat mereka lega. Apalagi ketersediaan air bersih dan listrik masih menjadi kendala utama bagi warga setempat. "Belum tentu ada warga yang mau kembali ke kampung. Selain soal air bersih dan listrik, masih ada yang merasa takut dan trauma," jelasnya.

Lebaran Idul Adha kemarin yang semestinya mereka rayakan dalam suasana gembira terlewatkan begitu saja. Tidak ada nuansa kegembiraan yang tergambar di raut wajah para pengungsi Alue Naga itu. "Ada atau tidak ada lebaran buat kami di sini sama saja," kata Maryati, 32, yang kini masih tinggal di barak pengungsian di kawasan Simpang Mesra, Lingke.

Ibu dua anak itu juga tidak tahu sampai kapan dirinya terus bertahan di barak pengungsian. Maryati mengaku hanya pasrah menjalani hari-harinya dengan penuh harapan tidak pasti.

"Kami sudah lelah menunggu. Biar saja begini. Kalau masih punya hati, tentu pemerintah tidak tega melihat rakyatnya yang hidup seperti ini," kata wanita yang kehilangan dua anaknya dalam bencana tsunami tiga tahun lalu itu.

Untuk menambah fasilitas, beberapa penghuni barak malah sudah memiliki dapur masing-masing yang mereka bangun sendiri, tidak jauh dari lokasi kamar barak.

Bagi Maryati, sebelum tinggal di barak, dirinya juga mengungsi ke Masjid Ulee Kareng. Kemudian berpindah ke Masjid Jamik Kampus Unsyiah.

Senasib dengan korban tsunami Alue Naga lainnya, ibu itu juga mengaku belum mendapatkan rumah bantuan. Dia hanya mendengar kabar bahwa setelah Lebaran Idul Adha, kegiatan pembangunan rumah di Alue Naga akan dilanjutkan. Artinya, itu enam bulan lagi menunggu. "Tapi, semua ini juga belum pasti. Karena kami hanya mendengar kabarnya begitu," ucap ibu tersebut, pesimistis.

Cerita Abdullah tak beda banyak. Sebenarnya, dia sudah mendapatkan rumah bantuan dari sebuah NGO. Tapi, sosok 57 tahun itu tidak kunjung menempatinya. Penyebabnya, kawasan Dusun Kutaran masih sering digenangi air laut ketika musim pasang tiba karena tidak ada tanggul penahan ombak.

"Kalaupun ada yang mau pindah, itu hanya karena terpaksa. Sebab, mereka sehari-hari bekerja sebagai nelayan," kata Abdullah yang sebelum tsunami bekerja sebagai penarik becak motor.

Kini, dia juga terpaksa menghabiskan hari-harinya bersama istri dan anak semata wayang, Adek Mirna, 11 bulan, di sebuah rumah shelter. "Dua anak saya hilang saat tsunami lalu. Ini membuat saya selalu sedih setiap tahun karena jasad mereka sampai sekarang tidak pernah ditemukan," ujar Abdullah yang kini tinggal di kawasan bantaran Krueng Aceh, bersama pengungsi Alue Naga lainnya.

Menurut Abdullah, saat ini di Dusun Kutaran, telah dibangun sekitar 73 unit rumah. Jumlah tersebut masuk tahap pertama dari jumlah sekitar 300 unit yang akan dibangun. Artinya, sebagian besar warga masih belum bisa memperoleh rumah.

Nasib tidak jauh berbeda dirasakan Fitria, 22, dan Sulaiman, 43. Kedua korban tsunami ini hingga sekarang juga masih menempati barak pengungsian Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Fitria mengaku sedikit lebih beruntung karena saat ini ada sebuah NGO yang memberinya bantuan rumah di kawasan Labui, Aceh Besar. "Walaupun belum kami tempati, kami merasa sudah punya harapan untuk bisa memiliki sebuah rumah baru. Kami berharap bisa segera menempatinya," kata Fitria yang sebelum tsunami mengaku sempat kewalahan membiayai kontrakan di Kampung Baru.

Dia pun merasa bersyukur karena waktu yang dihabiskan selama tiga tahun di barak ternyata tidak sia-sia. Berbeda halnya dengan Sulaiman. Lelaki asal Kahju ini belum mengetahui pasti apakah akan terus menetap di barak atau sampai kapan harus menunggu. "Sampai sekarang belum jelas," ujar lelaki itu.






My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog

My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor

No comments:

Post a Comment

Pages