Tiap tanggal 22 Desember masyarakat diingatkan agar tidak melupakan kaum ibu. Karena itu, tiap 22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu. Hari "seremonial" untuk mengingatkan kita kepada kaum ibu.
Persoalannya, apakah kaum ibu memang sering dilupakan sehingga perlu diingatkan? Tidak demikian. Dalam hal ini, yang dimaksud "jangan melupakan kaum ibu" ialah jangan memarginalkan martabat kaum ibu.
Mamarginalkan bukan sekadar tidak memberikan tempat terhormat kepada kaum ibu untuk memerankan karir nondomestiknya atau tidak menyejajarkan kemampuannya dengan kaum laki-laki. Justru yang lebih penting ialah memedulikan dan memberikan empati yang lebih egaliter.
Di masa lalu perlakuan tidak egaliter terhadap kaum ibu bisa diartikan mereka (ibu-ibu) selalu diberi peran di belakang suami. Tidak boleh berkarir di luar rumah. Cukup menjadi ibu "yang baik" sebagai pembimbing sosial, moral, dan psikologis anak-anak agar menjadi generasi muda yang berkualitas.
Oleh sebab itu -di masa lalu- dengan dalih kaum ibu harus memberikan perhatian kepada anak-anak di rumah dan menjaga keutuhan rumah tangga, kompetensi dan kapasitas kaum ibu dikorbankan. Tidak perlu "berprestasi" di luar rumah. Cukup menjadi ibunya anak-anak dan ibunya bapak ketika di rumah.
Kini perspektif terminologi "empati yang egaliter" diperluas. Bagaimana menafsirkan perluasan makna empati yang lebih egaliter? Antara lain, memberikan tempat yang lebih terhormat dan lebih peduli kepada ibu-ibu agar mereka dapat memainkan peran yang lebih besar, jauh melampaui peran tradisional dan tugas-tugas domestiknya di rumah tangga.
Bahkan kini terminologi memberikan "empati yang lebih egaliter" diperluas lagi. Yakni, memberikan peran yang lebih sejajar atau melampaui bapak-bapak tanpa ruang yang terbuka bagi munculnya diskriminasi gender dan tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun yang sarat dengan arogansi kekuasaan kaum bapak.
Entah disengaja atau tidak di tengah kian menguatnya kesadaran tentang perhormatan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), masih sering terjadi perlakuan fisik dan psikologis yang merusak martabat kaum ibu.
Masih ada kaum ibu yang "disiksa" kaum bapak. Masih banyak kaum ibu yang ditampar kaum bapak. Banyak pula ibu dipaksa "bekerja" di luar rumah tanpa memedulikan keamanan dan keselamatan mereka. Bahkan, tanpa perlindungan hukum yang adil dan beradab.
Hari Ibu tanggal 22 Desember -yang diperingati setiap tahun- tidak memiliki makna sedikit pun jika refleksinya lebih banyak berupa aksi dan kegiatan seremonial.
Hari Ibu tanggal 22 justru lebih bermakna terhormat jika dijadikan media untuk memberdayakan ingatan -setiap tahun- agar kaum bapak dan kalangan warga negara yang lain lebih peduli guna menghormati martabat kaum ibu.
Jika menghormati martabat kaum ibu merupakan keniscayaan, segala bentuk tindakan yang dapat menistakan fisik, psikis, dan moral kaum ibu harus bisa dicegah.
Pada perspektif seperti itulah, kita perlu memperingati Hari Ibu. Menumbuhkan kesadaran baru dan meningkatkan komitmen yang lebih tinggi guna menjunjung martabat kaum ibu. Tanpa kesadaran demikian, tidak ada gunanya Hari Ibu 22 Desember kita peringati tiap tahun.
My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog
My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor
Persoalannya, apakah kaum ibu memang sering dilupakan sehingga perlu diingatkan? Tidak demikian. Dalam hal ini, yang dimaksud "jangan melupakan kaum ibu" ialah jangan memarginalkan martabat kaum ibu.
Mamarginalkan bukan sekadar tidak memberikan tempat terhormat kepada kaum ibu untuk memerankan karir nondomestiknya atau tidak menyejajarkan kemampuannya dengan kaum laki-laki. Justru yang lebih penting ialah memedulikan dan memberikan empati yang lebih egaliter.
Di masa lalu perlakuan tidak egaliter terhadap kaum ibu bisa diartikan mereka (ibu-ibu) selalu diberi peran di belakang suami. Tidak boleh berkarir di luar rumah. Cukup menjadi ibu "yang baik" sebagai pembimbing sosial, moral, dan psikologis anak-anak agar menjadi generasi muda yang berkualitas.
Oleh sebab itu -di masa lalu- dengan dalih kaum ibu harus memberikan perhatian kepada anak-anak di rumah dan menjaga keutuhan rumah tangga, kompetensi dan kapasitas kaum ibu dikorbankan. Tidak perlu "berprestasi" di luar rumah. Cukup menjadi ibunya anak-anak dan ibunya bapak ketika di rumah.
Kini perspektif terminologi "empati yang egaliter" diperluas. Bagaimana menafsirkan perluasan makna empati yang lebih egaliter? Antara lain, memberikan tempat yang lebih terhormat dan lebih peduli kepada ibu-ibu agar mereka dapat memainkan peran yang lebih besar, jauh melampaui peran tradisional dan tugas-tugas domestiknya di rumah tangga.
Bahkan kini terminologi memberikan "empati yang lebih egaliter" diperluas lagi. Yakni, memberikan peran yang lebih sejajar atau melampaui bapak-bapak tanpa ruang yang terbuka bagi munculnya diskriminasi gender dan tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun yang sarat dengan arogansi kekuasaan kaum bapak.
Entah disengaja atau tidak di tengah kian menguatnya kesadaran tentang perhormatan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), masih sering terjadi perlakuan fisik dan psikologis yang merusak martabat kaum ibu.
Masih ada kaum ibu yang "disiksa" kaum bapak. Masih banyak kaum ibu yang ditampar kaum bapak. Banyak pula ibu dipaksa "bekerja" di luar rumah tanpa memedulikan keamanan dan keselamatan mereka. Bahkan, tanpa perlindungan hukum yang adil dan beradab.
Hari Ibu tanggal 22 Desember -yang diperingati setiap tahun- tidak memiliki makna sedikit pun jika refleksinya lebih banyak berupa aksi dan kegiatan seremonial.
Hari Ibu tanggal 22 justru lebih bermakna terhormat jika dijadikan media untuk memberdayakan ingatan -setiap tahun- agar kaum bapak dan kalangan warga negara yang lain lebih peduli guna menghormati martabat kaum ibu.
Jika menghormati martabat kaum ibu merupakan keniscayaan, segala bentuk tindakan yang dapat menistakan fisik, psikis, dan moral kaum ibu harus bisa dicegah.
Pada perspektif seperti itulah, kita perlu memperingati Hari Ibu. Menumbuhkan kesadaran baru dan meningkatkan komitmen yang lebih tinggi guna menjunjung martabat kaum ibu. Tanpa kesadaran demikian, tidak ada gunanya Hari Ibu 22 Desember kita peringati tiap tahun.
My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog
My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor
No comments:
Post a Comment