Tiap Desember, berbagi mal di kota-kota besar kita sudah dipenuhi beragam pernak-pernik Natal. Bahkan, di sebuah mal di Surabaya ada pohon Natal yang dibuat dengan 387 kursi . Pasti, akan ada yang menampilkan pohon Natal dengan kreasi yang lebih unik. Kalau perlu, bisa menorehkan rekor Muri.
Bukan hanya pohon Natal. Mode dan kuliner Natal pun tak mau ketinggalan. Kalau di Osaka, Jepang, pernah ada kue Natal senilai Rp 7,6 miliar, di Jakarta atau Surabaya juga tersedia hidangan Natal sekali makan seharga Rp 5 juta. Malah, yang agak ironis, hari besar umat kristiani itu juga dirayakan di bar atau diskotek, yang tentu bisa kita gugat apa motifnya.
Memang, komersialisasi dan kapitalisasi mendompleng dan membajak makna Natal yang sejati. Sehingga, Yesus pun jadi semacam barang komoditas untuk diperjualbelikan. Konyolnya, seolah dengan pergi ke mal atau bar, orang dikesankan sudah merayakan Natal. Fenomena tersebut tak hanya memonopoli metropolis, tapi jadi kecenderungan global yang susah dihentikan.
Lagi pula, untuk apa menghentikan kecenderungan seperti itu? Maka, tulisan ini tidak hendak melarang atau mencekal Yesus di mal. Sama sekali tidak. Tulisan ini hanya hendak mengingatkan, mungkin ada yang mau diingatkan. Silakan saja belanja di mal atau makan dan minum untuk menikmati kuliner dengan tujuan menambah semarak Natal. Namun, jangan pernah melupakan makna Natal yang sejati.
Natal dalam perspektif iman kristiani merupakan hari ketika Tuhan mau berempati, solider, serta peduli dengan nasib manusia yang lemah dan miskin. Karena itu, Yesus tidak pernah terlahir di mal atau kamar hotel berbintang lima dalam kondisi serba wah. Tapi, bayi Yesus lahir di kandang binatang di sudut Kota Betlehem di bumi Palestina. Yang pertama menyambut kedatangannya bukanlah SPG atau pelayan mal, tapi justru para gembala.
Gembala ialah simbol rakyat biasa, sederhana, bahkan miskin. Pada kelahirannya, Yesus justru menyapa orang-orang biasa, lemah, dan miskin. Sebenarnya, hanya dengan spirit menjadi lemah dan miskin seperti itu, umat kristiani bisa menggali makna sejati Natal. Kondisi lemah dan miskin seperti itu dilukiskan dengan bagus oleh Ernesto Cardenal, penyair dari Amerika Latin. Dalam Das Buch von der Liebe, Lateinamerikanische Pslamen, Erenesto menulis:
Kemiskinan dan kondisi lemah adalah keadaan asli manusia di firdaus, ketika manusia pertama Adam telanjang dan berkawan dengan binatang yang juga telanjang. Sesudah jatuh dalam dosa, manusia tak lagi telanjang. Sesungguhnya, kemiskinan dan kondisi lemah adalah kebenaran. Sementara, kekayaan adalah tipuan yang menutupi kebenaran. Kita menghiasi diri dengan baju materi untuk menutupi jiwa kita yang telanjang. Kepalsuan adalah sinonim bagi kelekatan akan harta. Busana mahal dan rumah mewah adalah penipu yang memalsukan keadaan material, layar yang menutupi kesederhanaan. Dalam kemiskinan, bersinar cahaya kesejatian. Dalam kekayaan, cahaya itu dipudarkan. Kemiskinan membuat diri kita nyata.
Meski begitu, kemiskinan dan kelemahan seperti itu jangan pernah ditafsirkan seolah iman Kristen antiharta atau antiuang. Tidak! Menurut Ernesto, semua itu hanya upaya penyadaran akan eksistensi sejati kaum beriman di hadapan sang Khalik.
Di hadapan-Nya, kita sebagai manusia bukanlah apa-apa. Di hadapan-Nya, uang, simpanan di bank, busana mahal, dan segala embel-embel tak menjadi kriteria utama. Semua milik-Nya. Dengan demikian, ketika dihadapkan pada kondisi apa pun, kita semua akan sadar bahwa hanya ada satu hal yang kita butuhkan, yaitu belas kasih Allah.
Kalau kita bicara kondisi umat kristiani di negeri ini, bisa dikatakan mayoritas adalah kelas menengah, yakni punya rumah dan penghasilan cukup. Bahkan, beberapa nama masuk jadi konglomerat meski tidak tercatat sebagai orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes (Jawa Pos, 14 Desember 2007). Kondisi tersebut merupakan berkah tersendiri yang layak disyukuri.
Namun, menjadi pengikut Yesus tidak dipanggil untuk kaya atau suci seorang diri, apalagi di tengah kondisi miskin yang masih dialami oleh 37,7 juta warga negeri ini. Kemiskinan di negeri kita sering dipicu oleh ketidakadilan. Untuk itu, setiap pengikut-Nya sudah layak dan sepantasnya meneladani solidaritas dan kepedulian-Nya. Bukan malah terjebak dalam setiap bentuk komersialisasi Natal yang hanya menekankan pada kesenangan diri sendiri dan cuek terhadap sesama yang miskin dan lemah.
Tom Saptaatmaja, pegiat lintas agama, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Widya Sasana Malang dan Seminari St Vincent de Paul.
My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog
My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor
No comments:
Post a Comment