Wednesday, 26 December 2007

Becermin kepada Kampung Belong

BEBERAPA hari lagi, tahun 2007 berlalu meninggalkan kita. Selama setahun ini kita tidak hanya menjadi saksi apa yang sudah dilakukan pemerintah, tapi juga langsung merasakan sendiri dampaknya. Baik yang positif maupun negatif. Yang menyenangkan maupun malah menyengsarakan. Bahkan, dengan mudah rakyat bisa memberikan skor, menilai sukses atau gagalnya program pemerintah.

Sekilas, beberapa program pemerintah pada 2007 tampak berjalan dengan baik. Meskipun tidak baik-baik sekali. Sayang, pembangunan yang dilaksanakan pemerintah selama 2007 masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Yakni, masih fokus pada fisik dan penguatan ekonomi. Mulai pembangunan dan pengembangan berbagai infrastruktur, peningkatan produksi pangan, diversifikasi dan konversi energi, hingga penataan lembaga kepartaian. Kalau boleh menyebut, reformasi yang dilakukan pemerintah saat ini baru sebatas pada ranah ekonomi, politik, dan sedikit di bidang hukum.



Sementara reformasi sosial masih jauh api daripada panggang. Boleh dibilang, ranah sosial yang tecermin dalam pembangunan nonfisik saat ini masih terabaikan.

Kebijakan tersebut mengakibatkan pembangunan berjalan timpang. Di satu sisi, ekonomi nasional makin kuat dan infrastruktur meningkat. Tapi, di sisi lain, terjadi keterpurukan peradaban di tengah masyarakat kita. Moral bangsa kian terdegradasi. Budaya kekerasan yang bersemi sejak meletusnya gerakan reformasi pada 1998 bukannya makin terkikis, tapi malah tumbuh subur.

Saat ini sekecil apa pun gesekan yang terjadi rentan menimbulkan kekerasan. Entah itu gesekan pemikiran, ideologi, politik, hingga fisik. Semua berpotensi memicu percikan violence.

***

Sejumlah aksi kekerasan selama medio 2007 tidak hanya menimbulkan kerusakan fisik, tapi juga korban jiwa yang tidak sedikit. Contoh terkini, peristiwa eksekusi tanah berdarah di Kampung Belong, Desa Rumbia, Kecamatan Jeneponto, Sulsel. Eksekusi tanah pada 6 Desember 2007 itu berakhir dengan bentrokan antara warga dan aparat. Seorang polisi, Briptu Dasrin, tewas ditusuk warga. Sejumlah polisi dan warga juga terluka parah hingga ringan.

Tragedi Kampung Belong tersebut bukan yang pertama terjadi. Hampir setiap pelaksanaan eksekusi tanah/bangunan diwarnai aksi kekerasan. Kekerasan oleh aparat terhadap warga dan demikian sebaliknya. Ironisnya, meski berulang-ulang terjadi, hingga kini belum tampak formula baru untuk mengatasi. Aparat masih saja melakukan tindakan represif dan intimidatif setiap melaksanakan eksekusi. Sedangkan warga yang lahannya dieksekusi belum melek hukum sehingga kurang dewasa dalam menyikapi vonis persidangan sengketa lahan. Lantas, dengan sekuat tenaga, ia melawan terhadap upaya eksekusi.

Modus-modus kekerasan juga masih sering dipertontonkan aparat setiap melakukan penertiban. Mulai penertiban rumah dan gubuk liar yang berdiri di tanah milik pemerintah/orang hingga penertiban PKL (pedagang kaki lima). Adu fisik antara aparat dan PKL serta perobohan bangunan/gubuk secara paksa selalu mewarnai aksi penertiban.

Pemandangan kekerasan juga terlalu sering terlihat dalam aksi-aksi demonstrasi. Baik yang digelar mahasiswa hingga warga di pelosok desa. Kekerasan yang mereka tontonkan bukan hanya aksi fisik, tapi juga kekerasan verbal. Bahkan, kalimat-kalimat hujatan dan provokasi yang mereka teriakkan lebih menyakitkan dibandingkan dengan kekerasan fisik.

Pertanyaannya sekarang, sampai kapan budaya kekerasan itu berlangsung. Tidak bisakah diciptakan formula yang lebih manusiawi dalam menyelesaikan setiap riak-riak yang muncul. Atau, memang bangsa ini sedang sakit kronis; sudah mati rasa persaudaraannya dan sudah putus saraf kemanusiaannya sehingga segala persoalan memang harus diselesaikan dengan kekerasan.

Pertanyaan berikutnya, mengapa pemerintah terkesan tutup mata terhadap aksi kekerasan yang trennya kian marak dari tahu ke tahun. Adakah pemerintah sengaja memelihara budaya kekerasan yang kini mulai merambah ke semua ranah, mulai fisik, ideologi, pemikiran, dan politik. Tujuannya agar rakyat sibuk dengan teror kekerasan dan tidak lagi punya kesempatan untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Yang pasti, kekerasan hanya akan mempertahankan lingkaran kejahatan. Cara kekerasan (dalam bentuk apa pun) tidak akan pernah menghasilkan keadilan dan perdamaian. Bukankah terciptanya keadilan dan perdamaian hampir selalu masuk teks pidato pemimpin negeri ini.






My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog

My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor

No comments:

Post a Comment

Pages