Tahun 2007 merupakan titik balik dari perjalanan desentralisasi. Penarikan mundur agenda desentralisasi secara radikal-fundamental, sebagaimana dikehendaki UU No 22/1999, telah dilakukan pada 2004 ketika UU tersebut dicabut dan digantikan dengan UU No 32 Tahun 2004. Waktu itu, penulis mencoba berprasangka baik, bertahan untuk tidak ikut menuduh telah terjadi resentralisasi. Spirit yang terkandung dalam UU No 32/2004 sempat penulis maknai sebagai pengurangan radikalitas desentralisasi. Maklum, UU No 22/1999 dibuat dalam suasana kritis (ketidakberdayaan pemerintah pusat) yang berhadapan dengan kemarahan daerah lepas dari belenggu. Euforia!
Pada 2007, diberlakukan dua peraturan pemerintah (PP) yang menjabarkan UU 32/2004. Ketika kedua PP tersebut diberlakukan, tidak ada lagi alasan untuk menyangkal bahwa resentralisasi telah berlangsung. Kedua PP itu adalah (1) PP No 38 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan (2) PP No 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Diberlakukannya kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali fondasi pemerintahan sentralistis, yang hendak dibongkar melalui UU No 22/1999. Hal yang tadinya ditolak saat ini justru dijadikan fondasi dalam penataan pemerintahan daerah.
Apa yang sebetulnya hendak dibongkar UU No 22/1999? Tidak lain ialah supremasi birokrasi atas demokrasi. Birokrasi, baik dalam eksistensi sebagai kekuatan politik maupun sebagai tata kerja pemerintah, hendak didemokratisasikan. Birokrasi dituntut untuk melakukan perubahan agar demokrasi bisa tumbuh subur di negeri ini. Waktu itu ditetapkan bahwa gubernur bukanlah atasan bupati/wali kota. Idenya, birokrasi lebih mementingkan substansi persoalan, bukan bersembunyi di balik formalisme dan kepatuhan buta pada hierarkis. Waktu itu, pemerintah pusat diharapkan mengubah organisasi dan cara kerjanya sehingga "sekadar" mengurusi hal-hal strategis dan mengerangkai kiprah daerah-daerah otonom. Tetapi, justru itulah yang tidak terjadi.
Lantas, apa yang telah kita saksikan pada 2007 ini? Meskipun kita memiliki Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pemerintahan di tingkat pusat tidak terbingkai sebagai konsensus yang terajut secara lintas daerah. Kesatuan Indonesia tidak ingin dibangun melalui konsensus antardaerah, melainkan melalui kesatuan kendali, melalui kepatuhan pada atasan. PP 38/2007 membakukan bahwa daerah bukanlah entitas yang kewenangannya dijamin UU dan harus dihormati serta difasilitasi pemerintah pusat.
Pemerintahan daerah adalah penyelenggara urusan pemerintahan, yang pada dasarnya milik pemerintah pusat. Semua urusan yang diselenggarakan pemerintah daerah, sekiranya diperlukan, bisa diselenggarakan pemerintah pusat. Penyusunan PP itu sebetulnya telah melalui proses yang partisipatif dan bisa dimaklumi kalau agak terlambat.
Sungguh pun demikian, isinya tetap saja mencerminkan supremasi cara pikir birokratis bahwa daerah adalah instrumen penyelenggara kewenangan birokrasi tingkat pusat, bukan entitas yang berdemokrasi, dan harus difasilitasi pemerintah pusat.
Dengan menetapkan bahwa urusan yang ditangani pemerintahan daerah pada dasarnya adalah juga urusan yang bisa ditangani pemerintah pusat, secara diam-diam, birokrasi daerah bisa menjalankan fungsi dekonsentrasi. Fungsi pemerintah pusat diselenggarakan aparatur di daerah.
PP 41/2007 mengatur organisasi perangkat daerah. PP itu mencoba membakukan nomenklatur agar pemerintah pusat tidak lagi bingung ketika berkomunikasi dengan pemerintah daerah. Lebih dari itu, jumlah unit penyelenggara pemerintahan daerah juga dibatasi secara relatif ketat.
Apa artinya hal-hal tersebut di atas? Sudahlah tata kewenangan pemerintahan daerah diatur secara ketat, organisasi yang menyelenggarakannya juga relatif terbakukan. Artinya, perjalanan pemerintahan daerah tinggal bergantung pada apa mau pemerintah pusat. Selamat bersiap untuk mengenang otonomi daerah!
Menarik untuk dicatat, kedua PP yang menandai titik balik proses desentralisasi itu mendapat sambutan positif dari kalangan birokrasi lokal. Kenyamanan mereka sebagai birokrat, sebagaimana yang dirasakan di masa Orde Baru, kini hampir terpulihkan.
Sementara itu, politisi yang duduk di DPRD terus saja menggerutu. Mereka yang secara resmi duduk di lembaga perwakilan rakyat mempersoalkan ruang untuk berdemokrasi. Pasalnya, meskipun mereka dipilih rakyat, pada dasarnya mereka tunduk pada jajaran eksekutif di Departemen Dalam Negeri. Relatif lemahnya kapasitas individual maupun kapasitas kelembagaan yang dimiliki DPRD telah menjadi justifikasi untuk membiarkan birokrasi menguasai demokrasi.
UU yang seambisius UU No 22/1999 memang tidak bisa diimplementasikan dengan baik dan masuk akal untuk diredakan obsesinya. Namun, kembali ke tatanan Orde Baru bukanlah pilihan tepat. Tata pemerintahan daerah pada masa mendatang semakin mirip dengan prototipe tatanan sentralistis. Kalau kita tidak ingin terbentur pada krisis yang sama dengan yang melahirkan UU No 22/1999, sebaiknya eksponen pusat maupun daerah mengembangkan kapasitas dirinya untuk belajar, merefleksi apa yang telah terjadi.
Tata pemerintahan lokal yang desentralisasi adalah keniscayaan. Agar perubahan tata pemerintahan tidak didiktekan lagi oleh krisis, eksponen pusat maupun daerah dituntut untuk bisa keluar dari situasi paradoksal yang tergambar di balik semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak boleh lagi kebinekaan dikebiri demi terulangnya kembali kesalahan Orde Baru: memercayai birokrasi ortodoks wadah otonomi.
My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog
My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor
No comments:
Post a Comment