Selain tsunami, gempa, gunung meletus, yang merupakan bencana murni, masih banyak bencana lain yang menyengsarakan manusia. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari ulah tidak benar manusia.
Telusurilah dari mana asalnya banjir. Dulu, ketika alam masih murni, hutan-hutan lebat memenuhi separo alam, banjir kiriman tidak terlalu ganas saat melintas dan melibas kehidupan. Tetapi, begitu pohon-pohon di hutan ditebang, secara liar maupun seizin yang berwenang, banjir kiriman dari tahun ke tahun makin perkasa menyengsarakan manusia.
Atau kita perhatikan air sungai yang dulu jernih, sekarang kotor karena tercermari limbah sehingga tidak layak lagi direnangi anak-anak. Anak-anak negeri yang manis itu seperti kesulitan dan terlarang untuk berenang di sungai yang diwariskan nenek moyang.
Kita juga mengharapkan munculnya bibit-bibit unggul pemain sepakbola yang legendaris seperti Ramang pada 1950-an, tetapi lapangan untuk anak-anak kecil bermain bola sudah ditamani rumah-rumah megah. Anak-anak sulit untuk mengembangkan bakatnya dalam olahraga yang nantinya bisa diharap mengharumkan kehormatan bangsa. Anak-anak yang tidak berdosa itu kini banyak yang tidak punya lahan kreatif untuk berlatih di atas tanah air yang diwariskan para pahlawan.
Siapa bilang, banjir, limbah, dan sempitnya anak-anak mengembangkan bakat itu bukan bencana? Sementara sebagian bencana itu secara nyata telah menyengsarakan. Namun anehnya, bencana itu sering didatangkan sendiri oleh orang-orang terdidik dan berpengetahuan. Yang menggunduli bukit dan menanaminya dengan villa megah bukan orang jelata yang tidak berilmu. Yang mengebor bumi dan kemudian menghasilkan luberan lumpur jutaan kubik itu bukan penyabit rumput. Yang mencemari sungai dengan limbah, bukan buruh tani yang sehari-hari mencari upah. Yang merakit bom mematikan itu, bukan kuli pelabuhan. Yang melakukan korupsi bukan si tunanetra yang tukang pijat.
Semua dilakukan orang-orang berilmu yang bertahun-tahun menimba ilmu di sekolah dan di perguruan tinggi. Jika kerusakan dan bencana itu akibat ulah sebagian orang yang mengecap pendidikan, salahkah jika ada pertanyaan, benarkah sekolah-sekolah didirikan hanya untuk mencetak orang-orang pembuat bencana?
Pertanyaan itu tentu saja salah, karena tidak semua orang sekolahan perbuatannya menimbulkan bencana. Yang terjadi adalah, sebagian orang terdidik telah menyumbang bencana. Padahal, awal mula didirikannya sekolah dan perguruan tinggi untuk mencetak kader-kader bangsa yang mampu memakmurkan tanah air, mampu merawat bumi dan laut, untuk menjadi sumber daya alam yang bisa membuat seluruh bangsa tersenyum dan bahagia.
Apa yang kurang benar pada pelaksanaan pendidikan kita? Hal itu menjadi pertanda bahwa pendidikan merawat batin, pendidikan membentuk karakter dan etos menyelamatkan tanah air perlu diupayakan. Pendidikan mengembangkan diri secara kreatif anak didik yang berorientasi pada keuntungan fisik dan materi, tanpa memberi ruang bagi pengembangan akal budi dan kepribadian yang menghormati kemanusiaan, sangat mungkin menghasilkan cerdik pandai yang tidak peduli kepada keselamatan bangsa dan tanah airnya.
Jika kita benar-benar mau mengurus bangsa dan negara ini untuk kembali menjadi bangsa yang terhormat, salah satu cara yang perlu kita kembangkan ialah budaya santun menjadi karakter dan merek positif bangsa ini. Urusan ini jelas bukan tugas orang per orang, tetapi perlu ada gerakan budaya untuk mengembalikan bangsa ini berakhlak santun. Punya integritas moral yang tidak sekadar diajarkan seperti penataran. Tapi benar-benar berupa penanaman penghayatan yang bisa berurat dan berakar di dalam kalbu dan bisa menjadi refleksi bagi kehidupan bersama.
Hasil "pendidikan" yang bukan sekadar "pelajaran" moral, tentunya akan lebih menjanjikan dalam mencetak putra-putra bangsa yang berjasa, yang kalau mati sangat pantas disebut pahlawan.
My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog
My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor
Telusurilah dari mana asalnya banjir. Dulu, ketika alam masih murni, hutan-hutan lebat memenuhi separo alam, banjir kiriman tidak terlalu ganas saat melintas dan melibas kehidupan. Tetapi, begitu pohon-pohon di hutan ditebang, secara liar maupun seizin yang berwenang, banjir kiriman dari tahun ke tahun makin perkasa menyengsarakan manusia.
Atau kita perhatikan air sungai yang dulu jernih, sekarang kotor karena tercermari limbah sehingga tidak layak lagi direnangi anak-anak. Anak-anak negeri yang manis itu seperti kesulitan dan terlarang untuk berenang di sungai yang diwariskan nenek moyang.
Kita juga mengharapkan munculnya bibit-bibit unggul pemain sepakbola yang legendaris seperti Ramang pada 1950-an, tetapi lapangan untuk anak-anak kecil bermain bola sudah ditamani rumah-rumah megah. Anak-anak sulit untuk mengembangkan bakatnya dalam olahraga yang nantinya bisa diharap mengharumkan kehormatan bangsa. Anak-anak yang tidak berdosa itu kini banyak yang tidak punya lahan kreatif untuk berlatih di atas tanah air yang diwariskan para pahlawan.
Siapa bilang, banjir, limbah, dan sempitnya anak-anak mengembangkan bakat itu bukan bencana? Sementara sebagian bencana itu secara nyata telah menyengsarakan. Namun anehnya, bencana itu sering didatangkan sendiri oleh orang-orang terdidik dan berpengetahuan. Yang menggunduli bukit dan menanaminya dengan villa megah bukan orang jelata yang tidak berilmu. Yang mengebor bumi dan kemudian menghasilkan luberan lumpur jutaan kubik itu bukan penyabit rumput. Yang mencemari sungai dengan limbah, bukan buruh tani yang sehari-hari mencari upah. Yang merakit bom mematikan itu, bukan kuli pelabuhan. Yang melakukan korupsi bukan si tunanetra yang tukang pijat.
Semua dilakukan orang-orang berilmu yang bertahun-tahun menimba ilmu di sekolah dan di perguruan tinggi. Jika kerusakan dan bencana itu akibat ulah sebagian orang yang mengecap pendidikan, salahkah jika ada pertanyaan, benarkah sekolah-sekolah didirikan hanya untuk mencetak orang-orang pembuat bencana?
Pertanyaan itu tentu saja salah, karena tidak semua orang sekolahan perbuatannya menimbulkan bencana. Yang terjadi adalah, sebagian orang terdidik telah menyumbang bencana. Padahal, awal mula didirikannya sekolah dan perguruan tinggi untuk mencetak kader-kader bangsa yang mampu memakmurkan tanah air, mampu merawat bumi dan laut, untuk menjadi sumber daya alam yang bisa membuat seluruh bangsa tersenyum dan bahagia.
Apa yang kurang benar pada pelaksanaan pendidikan kita? Hal itu menjadi pertanda bahwa pendidikan merawat batin, pendidikan membentuk karakter dan etos menyelamatkan tanah air perlu diupayakan. Pendidikan mengembangkan diri secara kreatif anak didik yang berorientasi pada keuntungan fisik dan materi, tanpa memberi ruang bagi pengembangan akal budi dan kepribadian yang menghormati kemanusiaan, sangat mungkin menghasilkan cerdik pandai yang tidak peduli kepada keselamatan bangsa dan tanah airnya.
Jika kita benar-benar mau mengurus bangsa dan negara ini untuk kembali menjadi bangsa yang terhormat, salah satu cara yang perlu kita kembangkan ialah budaya santun menjadi karakter dan merek positif bangsa ini. Urusan ini jelas bukan tugas orang per orang, tetapi perlu ada gerakan budaya untuk mengembalikan bangsa ini berakhlak santun. Punya integritas moral yang tidak sekadar diajarkan seperti penataran. Tapi benar-benar berupa penanaman penghayatan yang bisa berurat dan berakar di dalam kalbu dan bisa menjadi refleksi bagi kehidupan bersama.
Hasil "pendidikan" yang bukan sekadar "pelajaran" moral, tentunya akan lebih menjanjikan dalam mencetak putra-putra bangsa yang berjasa, yang kalau mati sangat pantas disebut pahlawan.
My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog
My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor
No comments:
Post a Comment