Saturday, 22 December 2007

Sebuah Permainan dari Pakde

Tit. Titiit.
Nada itu terdengar dua kali. Pertanda ada SMS masuk di HP-nya. Dengan malas, diraihnya HP yang tergeletak tak jauh dari tempatnya duduk. Jemarinya pun sibuk menekan tombol-tombol. Di kotak masuk tercantum sebuah nama. Nama yang akhir-akhir ini begitu lekat dengan dirinya. Pakde.


Dalam hitungan detik, dipencetlah tombol tengah di HP Nokia bututnya, tanda untuk membuka. Sebuah pesan singkat muncul di layar. Tampak jelas dengan warna hitam menyala dalam bentuk hologram. Satu per satu kata dibacanya. Hingga dia tertuju pada kata-kata terakhir dalam pesan singkat itu. "Apa artinya air matamu dibandingkan dengan sakitnya hatiku."

Kaget, HP pun diletakkan lagi dengan buru-buru. Dia tak menduga akan mendapat SMS seperti itu. Dalam diam, dia mulai berpikir tentang semua hal. Tentang pertemuannya dengan Pakde, tentang cintanya pada Pakde, tentang lamarannya Pakde dan tentang pertengkarannya dengan Pakde. Memang hubungannya dengan Pakde akhir-akhir ini memburuk. Mengapa dua orang yang saling mencintai lama-kelamaan bisa saling membenci dan menyakiti? Bagaimanakah arti dirinya bagi Pakde ?

Ketika seorang wanita menangis, berarti hatinya sedang terluka. Jiwanya sedang menjerit kesakitan. Bekasnya akan terasa begitu lama terpendam. Betapa air mata tak akan berarti apa-apa. Mengapa orang yang sangat dicintainya berkata seperti ini? Hatinya semakin hancur. Luluh lantak berkeping-keping.

Tak terasa, air mata mengalir di pelupuk matanya. Semakin lama semakin deras. Bagai aliran hujan yang membasahi hutan cemara di musim kemarau. Dingin dan basah. Mungkin inilah arti sebuah hubungan. Ada episode baik, ada episode buruk. Ada rasa yang manis, ada rasa yang teramat getir dan pahit. Dia harus menerima dan menelannya mentah-mentah demi sebuah kata ’aku masih mencintainya’.

Diraihnya kembali HP yang tadi disingkirkan. Ditekannya tombol reply. Jarinya mulai memainkan tuts-tuts huruf yang ada. Satu per satu hingga terangkai menjadi kata dan kata menjadi kalimat.

Aku mohon maaf atas semua salah dan khilafku. Lisanku yang tak terjaga, hatiku yang penuh prasangka, dan sikapku yang menyakitkan. Maafkan atas semua kebodohanku selama ini. Semoga masih ada kesempatan untukku memperbaiki semuanya. Janji, aku tidak akan mengulanginya lagi.

Lama dia menunggu. Namun, hingga larut malam, tak ada SMS balasan. Dia pun terus mencoba. Entah untuk yang ke berapa kali. Tetapi, tetap tak ada jawaban. Jalan terakhir adalah menelepon. Ya. Mungkin Pakde mau mengangkat, pikirnya.

Terdengar nada sambung pribadi di ujung sana. Suara merdu Ebiet G. Ade. Satu, dua, tiga, hingga puluhan kali dia mencoba, tetap tak ada tanggapan. "Mungkin Pakde sedang tidur atau mungkin masih marah. Besok saja aku telepon lagi," gumamnya.

Dengan pipi yang masih sembab dan air mata yang terus menetes, dia terlelap tidur. Namun, dalam sepersekian detik, dia langsung teringat lagi tentang Pakde. Betapa semua memori otaknya, ruang-ruang terkecil sel-selnya telah terisi sebuah nama. Pakde.

Tidak boleh. Aku tidak boleh begini terus, batinnya. Lekas-lekas digerakkan kakinya ke belakang untuk mengambil air wudu. Betapa dingin dan menyegarkan. Hanya kepada Rabb-nya semua urusan dia kembalikan. Hanya kepada Rabb-nya, dia mencari kedamaian dan ketenangan hati. Satu, dua, tiga, sebelas rakaat dia tenggelam dalam sujud-sujudnya. Menikmati bercengkerama dengan kekasih sejatinya. Tangannya menengadah, lisan dan hatinya meminta jalan yang terbaik untuk semua masalah yang dihadapinya. Air mata berderai membasahi sajadah yang tergerai memanjang di hadapannya, seolah tiada hijab di antara mereka.

Lama sudah dia tertegun dan berharap bahwa semua akan kembali membaik. Tak sengaja, matanya tertuju pada lembaran kertas berwarna putih hijau yang terletak di samping tempat tidurnya. Jumlahnya tak kurang dari enam lembar. Pada lembar ketiga, dia menemukan sebuah kalimat yang menyentuh kalbunya. Kaum Hawa diciptakan dari rusuk Adam yang bengkok untuk diluruskan, bukan dari kepalanya untuk dijadikan atasnya, bukan dari kakinya untuk dijadikan alasnya, melainkan dari sisinya untuk dijadikan teman dalam hidupnya, dekat pada lengannya untuk dilindungi dan dekat pada hatinya untuk dicintainya.

Apakah Pakde mampu untuk menjalankan semua itu?

* * *

Setengah tujuh pagi dia memegang HP dan mulai mencari nomor Pakde. Lama sudah dia menelepon, namun tidak ada suara yang terdengar di ujung sana. Akhirnya diputuskan untuk mengirimkan SMS yang bertema sama: permintaan maaf. Tetapi, tetap tak ada jawaban.

Tiga hari kemudian, muncul pesan singkat. Sebenarnya aku merindukanmu, tapi aku tak ingin memikirkannya dulu. Aku ingin konsentrasi pada kerjaan. Dua hari lagi aku ada tes promosi jabatan.

Membaca SMS itu, ingatannya melayang pada acara ratu talk show Amerika Serikat yang ditayangkan salah satu stasiun TV swasta. Kala seorang pria sedang jatuh cinta, dia akan memperhatikan orang yang dicintainya tanpa terpengaruh pekerjaan atau hal-hal apa pun. Dan, ketika dia mulai menggunakan alasan pekerjaan untuk tidak menghubungi dan memperhatikan pasangannya, berarti dia tidak benar-benar mencintainya.

Namun, pikiran itu coba dibuangnya jauh-jauh. Itu hanya terjadi di dunia Barat, di sini pasti berbeda.

* * *.

Dua hari berlalu.

Selepas Isya, dia SMS menanyakan tentang tes Pakde. Betapa kaget ketika dia mendapatkan jawabannya. Nasibku jangan terlalu dipikirkan dan diurusi.

Pertanyaan kembali muncul di benaknya. Ada apa dengan Pakde? Adakah yang salah dengan pertanyaannya?

Logikanya dipaksa berjalan ke arah persaudaraan si kembar yang tidak selalu sama, walau mereka berasal dari satu telur. Apalagi dua anak manusia yang dibesarkan dalam kultur, nilai dan lingkungan yang berbeda seperti ini.

Karena tidak tahan dengan situasi ini, diputuskannya untuk menemui Pakde. Semuanya mengarah pada hubungan mereka. Semua keputusan diserahkan pada Pakde. Apa pun hasilnya akan dia terima dan hormati karena tidak sanggup lagi untuk menunggu.

Dengan nada suara yang datar dan tampak berhati-hati, terucaplah kata-kata itu dari bibir Pakde. "Aku sudah nggak bisa lagi jalan sama kamu. Terlalu banyak perbedaan di antara kita berdua. Semoga kamu mendapatkan pengganti yang lebih baik daripada aku."

Dengan kepasrahan dan ketidakberdayaan, dia terima semuanya. Bulir-bulir bening itu kembali jatuh untuk kali kesekian. Walau sudah ditahan, tetap tidak berhenti. Kelenjar air matanya terpaksa memproduksi melebihi kapasitas hari itu.

Dengan mata yang masih sembab dan bengkak, dia mengumpulkan keberanian untuk menemui ibu Pakde, memberi tahu semuanya. Bersimpuh dia di kaki ibu Pakde sambil memohon maaf atas semuanya. Atas ketidakmampuannya memelihara amanah dan keinginan beliau.

Tangan-tangannya mengusap air mata di kedua pipi wanita paro baya di hadapannya. Wanita yang sudah dianggapnya sebagai ibunya sendiri. Setelah memeluk dan mencium punggung tangan ibu Pakde, dia bergegas pamit pulang. Dengan langkah ringan, dia keluar dari rumah itu. Inilah tempat yang mungkin akan dirindukannya kelak. Bagaimanapun, hidup harus terus berjalan.

* * *

Dua puluh hari kemudian, pukul sebelas malam, dilihatnya sosok yang pernah mengisi hatinya melintas di depan rumah. Tampak Pakde begitu mesra berboncengan dengan seorang cewek menembus keheningan malam. Ada kehangatan dan kemesraan yang begitu nyata di antara mereka berdua. Tanpa ragu, nalurinya berkata bahwa perempuan itu pasti pacar barunya.

Ternyata, dugaannya selama ini salah besar. Gosip tentang Pakde yang playboy semakin jelas. Bahkan awal bulan lalu, ketika dia bersama kakaknya membelah udara kota mencari camilan, matanya tertuju pada mobil yang terparkir rapi di halaman sebuah bar. Lagi-lagi Pakde. Dia keluar bersama seorang perempuan berbeda. Tangannya bergelayut manja di pundaknya. Ada aura penuh kesenangan di antara mereka berdua.

Dia tersenyum. Mungkin bagi Pakde, hubungan dengan cewek-cewek hanyalah sebuah permainan. Ketika bosan, waktunya untuk mencari lagi yang baru. Tanpa komitmen dan tujuan yang jelas. Hanya bersenang-senang. Bila ditanya tentang pernikahan, dia tinggal menunjuk billboard besar iklan rokok yang terpasang di pertigaan jalan. Kapan kawin? Kapan-kapan. Itulah Pakde. Cinta baginya adalah sebuah permainan.

Dan, dia bersyukur tidak jatuh ke dalam permainan busuknya.






My Blog | My Friend`s Blog | My Review Blog

My Updates Blog Everyday
Info Handphone | Info Tentang Internet | Kumpulan Artikel Motivasi | Kumpulan Humor

No comments:

Post a Comment

Pages